Subscribe:

Pages

Sabtu, 10 Mei 2014

Jampang

Pengarang: Anonim
Bayi yang masih merah itu lahir dan menangis keras sekali. “Syukur anak pertamaku sudah lahir,” kata ayahnya dengan gembira. Setelah seminggu, anak itu ditimang-timang. Ibunya memperhatikan dengan khawatir.“Selagi masih dalam kandungan saja sudah nakal, banyak geraknya di dalam perut. Setelah lahir demikian wujudnya. Ah, puas aku punya anak demikian sehat. Tetapi, aku tidak mau lagi punya anak. Cukup seorang ini saja, Bang. Legalah setelah dia lahir. Dia berteriak keras-keras pertanda apa, Bang?”
“Pertanda dia anak yang gagah berani.”
“Benar itu, Bang?”
“Anak keturunan Banten memang begitu.”
“Abang selalu mengandaikan asal Abang saja. Dia juga karena ibunya yang dari Jampang ini, daerah Sukabumi asli!”
“Sudahlah tak usah berdebat. Pokoknya dia sekarang jadi anak yang gagah.”
Atas persetujuan mereka, setelah berdebat ramai, bayi yang berumur seminggu itu diberi nama si Jampang. Bayi itu tumbuh menjadi seorang pemuda yang benar-benar gagah, ganteng, tidak memalukan silatnya, dan pandai memainkan golok. Di pesta-pesta keramaian selalu menjadi incaran mata para perawan. Setelah akil balig dia dinikahkan. Selanjutnya, si Jampang dengan keluarganya tinggai di Grogol, Depok.


Sayang, istrinya yang berasal dari Kebayoran Lama itu tidak berumur panjang. Sejak itu, Jampang hanya hidup dengan anak laki satu-satunya. Anak ini dikenal dengan nama Jampang muda. Dia tumbuh pula menjadi seorang anak muda yang tampan seperti ayahnya. Kadang-kadang saja dia pulang menemui ayahnya karena dia lebih senang tinggal di pesantren dengan kawan-kawannya.
Pada saat anaknya di rumah itulah ayahnya bercakap-cakap dengan kocak.
“Tong, kamu harus lebih baik dari ayahmu. Jadi orang yang terpandang dan dihormati. Ke mana-mana diundang untuk memberikan ceramah agama. Siapa yang bangga kalau bukan ayahmu ini?”
“Tapi ayah juga harus tidak bikin malu lagi. Yang alim, Yah, seperti biasanya orang-orang Banten. Masak kerja Ayah tiap hari merampok terus? Tidak bosan dikejar-kejar polisi? Di pesantren sudah dibicarakan orang terus. Meskipun tidak terus terang di telinga saya, tetapi darah saya mendidih. Bukan lantaran marah, tetapi malu sekali, Yah.”
“Kamu tidak perlu memberi nasihat kepada Ayah. Kamu masih anak kemarin, Tong. Sebenarnya kamu pulang punya maksud apa?” tanya ayahnya. Jampang muda hanya tersenyum, tidak berkata apa pun.
“Saya tidak mau mengaji lagi, Yah.”
“Payah, kamu Tong. Tadi memberi nasihat seperti kiai, sekarang tidak mau mengaji lagi. Kamu mau jadi apa? Mau jadi tukang pukul seperti ayahmu ini?”
Si Jampang muda menggelengkan kepala, “Pikiranmu cepat sekali berubah, Tong. Kamu tidak mau sekolah? Lalu? Kalau kamu tidak mau sekolah, lebih balk nikah saja.” Anaknya kaget.
“Saya tidak mau menikah, Yah. Lebih baik sekolah saja. Kalau Ayah mau menikah lagi saya tidak melarang.”
“Ha ha ha,” Jampang tertawa terbahak-bahak, “kalau kamu mau ibu lagi, nanti Ayah carikan.”
Jampang mempunyai seorang kawan di Tambun, bernama Sarba. Di rumah Sarba ini Jampang meneriakkan salam, “Assalamualaikum.”
“Alaikum salam,” jawab orang yang diberi salam dari dalam rumah. Ternyata yang muncul adalah Ciput, pembantu Pak Sarba.
“Pak Sarba ada?” tanya Jampang.
Ciput menjawab sedih, bahwa Pak Sarba sudah meninggal dunia.
“Kasihan, ya,” kata Jampang menyesal.
“Jadi, Mayangsari menjanda, Put?”
Ciput menganggukkan kepala.
“Kasihan,” kata Jampang sekali lagi, “tidak disangka.”
Jampang teringat Sarba. Sahabatnya ini orang balk. la mengenalnya sejak kanak-kanak, sama-sama dari Banten. Lalu, menikah ban punya anak bernama si
Abdih. Anak lelaki juga seumur Jampang muda. Tidak lama kemudian Mayangsari keluar dari kamarnya. Melihat sahabat suaminya datang, dia jadi sedih. Dia mengulang cerita tentang Sarba yang sudah lama meninggal dunia.
“Waktu itu Bang Sarba sakit apa Mayang, kok saya tidak diberitahu?”
“Ceritanya panjang sekali, Jampang. Ketika abangmu belum punya anak, kita berdua pernah pergi ke Gunung Kepuh Batu. Ziarah ke makam sambil memohon agar diberi anak. Juru kuncinya bernama Pak Samat, menerima kedatangan kita berdua. Pak Samat membaca doa dan mantra sambil membakar kemenyan hingga keluar setan dari makam itu.”
“Seram juga Mayang. Saya tidak tahan kalau sendirian di makam begitu seramnya.”
“Mengejek terus Jampang. Saya teruskan ceritanya. Abangmu bertanya kepada setan itu. Apakah saya bisa punya anak? Setan itu manggut-manggut. Bang Sarba senang sekali mendengar akan dapat anak lelaki. Lalu dia janji, kalau sudah lahir jabang bayi, dia akan bawa sepasang kerbau ke makam Gunung Kepuh Batu!”
“Selanjutnya bagaimana, Mayang?”
“Saya dan abangmu pulang. Beberapa bulan kemudian saya mengandung. Kemudian, lahir anak laki-laki, itulah si Abdih. Saat berumur lima betas tahun, dia ingin sekolah, Tetapi, abangmu bingung karena sulit hidup. Lalu, abangmu mengajak saya dan Abdih ke Betawi. Abangmu mau menenteramkan hati saya dan anak lelakinya. Di sini abangmu sakit, lalu meninggal. Menurut dukun iantaran dia lupa janjinya dulu.”
Jampang termangu-mangu.
“Orang kalau akan meninggal ada-ada saja caranya, Mayang. Seperti abang saya itu. Mengajak pergi ke Betawi, tiba-tiba pergi. Dia orang baik, Mayang.”
Jampang sedih. Lalu dia bertanya di mana si Abdih.
“Sekolah di Bandung,” kata Mayangsari.
“Mayang tidak perlu bingung memikirkan Abdib,” kata Jampang.
“Mang mungkin tidak bingung, Jampang. Sekolah di Bandung itu perlu biaya besar. Kan uangnya susah.”
“Anak sekolah di Bandung biar saja, jangan ikut dipikir,” kata Jampang lagi, “pokoknya nanti saya yang akan mengurus dia.”
“Kalau bukan saya yang mengurus siapa lagi, Jampang?” kata Mayangsari. “Makan dan pakaiannya, semua dari saya. Harta sudah babis, tak ada lagi yang tersisa.”


“Begini, Mayang” kata Jampang akbirnya, “Mayang sudah menjadi janda dan saya duda, lebih baik kita menikah, Klop. Mau apa lagi?”
Mayangsari kaget, lalu marah besar.
“Jangan bicara sembarangan. Jampang!” Mayangsari mulai marah. “Meskipun saya janda dan tidak punya suami lagi, tetapi tidak bisa sembarangan orang menghina. Kalau kamu ingin menikah, nikahlah, urus sendiri dirimu. Mau cari janda, perawan, atau banci, itu urusanmu, tetapi jangan dengan saya. Tidak akan pantas!”
Jampang malu sekali. Dia cepat keluar dari rumah itu. Di balaman depan dia melihat Mayangsari menutup pintu rapat-rapat, tanda kalau Jampang tidak bakal diterima lagi di rumahnya.
Di jalan, Jampang bertemu Ciput.
“Saya malu sekali, Put!” Jampang menceritakan sedikit pengalamannya dengan Mayangsari. “Padahal saya senang sekali dengan Mayang. Dia masih cantik. Bekas istri teman sendiri. Apa salahnya? Itu tandanya mengbormati kawan yang sudab almarhum, tetapi tiba-tiba dia marah besar. Kalau dia menikah dengan saya hartanya tidak akan pergi kemanamana. Setuju, Put’?”
Pembantu perempuan yang tidak pernah lepas dari Mayangsari itu dibujuk Jampang.
“Pokoknya nanti beres, Ciput,” janji Jampang. Tiba-tiba pintu rumab terbuka. Tampak Mayangsari makin marah.
“Ciput, masuk!” teriaknya.
Pembantunya menurut. Dia masuk rumab. Langsung ke biliknya di belakang.
Lalu, Mayangsari berteriak sambil melotot ke arah Jampang.
“Pergi, Jampang! Pergi!” Tetapi, Jampang masih tetap berdiri di tempatnya. Mayangsari makin berapi mendekati Jampang. “Jangan ikut campur masalab saya lagi, Jampang. Pergi kata saya!”
Belum sempat berkata apa-apa, Mayangsari sudah meninggalkan Jampang. Dia menutup pintu dan jendela-jendela rumab. Tidak peduli pada Jampang yang terpana.
“Sial sekali saya hari ini. Mayangsari, kamu akan menyerah. Kamu belum tabu siapa saya!”
Jampang berjalan lesu. Untuk mendapat kesenangan memang harus bekerja keras. Juga untuk mendapatkan perempuan secantik Mayangsari. Umur Mayangsari masih sekitar tiga puluh tahun. Jampang menuju rumah Sarpin, keponakannya, kebetulan ada di rumab.
“Saya perlu seorang dukun, Pin,” katanya kepada Sarpin.
Sarpin beran. “Buat apa, Mang?”
Jampang lalu menceritakan kembali pengalamannya dengan Mayangsari.
“Memang cinta sekali kalau begitu, Mang.”
“Jangan banyak bicara kamu,” tukas Jampang, “owl dukunnya!”
“Perkara dukun gampang, Mang. Saya tabu benar dukun yang manjur, Namanya Pak Dui dari kampung Gabus. Pintar sekali. Pokoknya orang yang diguna-guna pasti akan terkena. Setuju ke rumahnya, Paman?”
“Makin cepat makin bagus,” jawab Jampang.
Malam itu juga mereka pergi. Mereka berjalan membawa dua obor. Satu di tangan Jampang dan satu di tangan Sarpin. Pakaian mereka hitam-hitam. Golok terselip di pinggang. Di leher terkalung sarung sebagai penahan dingin udara malam. Mereka berjalan melewati pematang-pematang sawah dan menerobos kebun-kebun orang, serta melewati kuburan yang sepi. Obor mereka terus menyala. Sering obor itu ditunggingkan ke bawah, agar minyaknya turun ke api sebingga nyala api lebib besar. Akhirnya, sampailah mereka di rumah Pak Dul, dukun kampung Gabus yang terkenal.
“Saya minta guna-guna, Dukun, agar Mayangsari tergila-gila kepada saya,” kata Jampang terus terang tanpa malu-malu.
Jampang juga menyerahkan salam tempel ke tangan Pak Dul. Dengan gembira dukun memasukkan isi salam itu ke dalam kantong bajunya. Dia baca jampi-jampi. Mulutnya komat-kamit. Tidak lama kemudian Jampang diberi guna-guna. Sebelumnya, Jampang diberi tahu cara penggunaannya. Lalu, Jampang dan Sarpin pulang tergesa-gesa.
Pikiran Jampang selalu ke Mayangsari. Tidak peduli kaki sebelahnya terperosok ke dalam lumpur.
Mayangsari menggodanya, membawanya ke alam mimpi. Keponakannya repot karena jalannya jauh tertinggal di belakang. Guna-guna itu sudah diletakkan di rumab Mayangsari oleb Jampang. Begitu terkena, Mayangsari langsung gila. Dia sering tertawa-tawa. Berpakaian semaunya, tidak malu sama sekali, terutama kepada setiap lelaki yang lewat di depan rumahnya. Ketika Abdih pulang dari Bandung, kontan Mayangsari mencium dan memeluknya.
“Jampang! Jampang yang tampan!” Mayangsari merayu-rayu.
Abdih kaget serta sedih sekali melibat perubahan ibunya.
“Mari Jampang! Mari peluk lebib erat!”
Anaknya segera menyadarkan ibunya.
“Bu Bu! Sadar. Bu!”
Ciput pembantunya yang setia datang mendekat. “Kenapa Ibu sampai begini, Ciput?”
“Barangkali gara-gara Jampang,” kata Ciput, “dia pernah ke sini dan mengajak menikah ibumu, tapi ditolak. Dia bilang lebib baik gila daripada menikah dengan Jampang.”
“Jadi. Ibu langsung begini?”
Ciput mengangguk-angguk.
“Ibu seperti kena guna-guna,” kata Abdih, “yang mengguna-guna tentunya Mang Jampang. Sunggub bikin malu. Saya malu sekaii. Dukun mana yang bisa
menyembuhkan ibu, Ciput?”
Ciput belum pernah tahu soal guna-guna. Jadi, dia tidak bisa menjawab. Abdih bertanya ke sana kemari akhirnya dapat berita. Pak Du di kampung Gabus. Karena dukun itu sendiri yang buat, dengan tidak menemui kesulitan Ala pula yang mencabut guna-gunanya. Mayangsari seketika sembuh. Tidak ingat lagi kepada Jampang.
Sesudah itu Abdib mencari Jampang. Dia marah sekali.
“Bisa atau tidak bisa, saya barus menikab dengan Ibumu, Abdib,” kata Jampang menegaskan.
“Saya tidak melarang, Mang Jampang,” jawab Abdih yang ketakutan juga, “tetapi ada syaratnya, Mang barus menyerahkan sepasang kerbau sebagai emas kawinnya.”
“Saya tidak keberatan, Abdib. Saya akan usahakan.”
Abdib pulang menyampaikan kesanggupan Jampang kepada ibunya.
Dari mana dapat kerbau sepasang? Kerbau sepasang tidak gampang, pikir Jampang. Namun, dia segera ingat Haji Saud di Tambun. Dia kaya sekali. Sawahnya luas. Kerbau dua ekor belum apa-apa. Ke tempat itulah, Jampang dan Sarpin perqi merampok dengan mudah. Ketika dia dengan Sarpin akan ke luar dari pintu desa, sekawanan polisi sudah mengepung. Mereka menunjukkan laras-laras senapan ke arab Jampang dan Sarpin. Tertangkaplah Jampang. Jampang pun tidak bisa melakukan perlawanan.
Orang-orang kaya, tuan-tuan tanah, serta pejabat pemerintah jajahan merasa gembira melihat Jampang telab dipenjara. Sebaliknya, rakyat kecil, para petani, dan mereka yang menderita amat sedib. Jampang tidak sekadar merampok. Boleh dikata dia sebagai penolong rakyat kecil. Mereka sering mendapat pembagian hasil rampokan dari orang-orang kaya dan tuan-tuan tanah yang tamak. Rakyat kecil itu makin sedib ketika mendengar bahwa Jampang telab mendapat hukuman mati di Betawi.

0 komentar:

Posting Komentar