“Kukkuruyuukkk… Kukkkuurrruuuyyuukkk…” Suara ayam jantan yang sedang berkokok dengan gagahnya membangunkanku di tengah kegelapan pagi. Suara ayam jantan yang berkokok di pagi hari bergantian hingga tak terhitung jumlahnya. Suasana pagi yang dingin dan berkabut serta suara kokok ayam yang bersahutan memang sudah menjadi ciri khas tempat tinggalku. Desa BANGUN REJO di kabupaten Blitar Jawa Timur. Ya, itulah rumahku selama ini. Sebuah desa kecil yang tentram terletak kurang lebih 20 KM dari tempat wisata gunung kelud. Tentunya disini aku tidak sendiri, aku tinggal bersama bapak, ibu, serta kakek dan nenek.
“Sugeengg. Bangun nak. Sholat subuh dulu.” Suara nenek membangunkanku yang masih terbaring nyaman berselimut sarung.
“Iya mbah” kataku menurut.
“Iya mbah” kataku menurut.
Sebenarnya aku masih sangat malas untuk melangkahkan kaki ke kamar mandi. Salah satunya karena airnya yang sangat dingin. Tapi ya wajarlah, namanya juga pegunungan hehehe. Namun karena yang memintaku adalah nenekku sendiri, jadi tak mungkinlah aku menolak permintaannya.
“Allaaahuakbar..” kalimat takbirpun terdengar dari mushola kecil dekat rumah. Hari ini terlihat 10 orang yang sedang khusuk menghadap sang kuasa, dan tak menghiraukan dinginnya kabut pagi. Jumlah segitu sudah alhamdulillah, ya maklumlah. Namanya juga di desa, jarak rumah satu dengan lainnnya sangat renggang. Ditambah pula mayoritas bekerja sebagai pekebun yang setiap hari direpotkan dengan mengirim sayur-sayuran ke pasar di kota.
Meskipun begitu, aku bangga dengan desa kecil ini. Yang selalu tenteram, damai dan tak mengenal kata kekerasan.
Meskipun begitu, aku bangga dengan desa kecil ini. Yang selalu tenteram, damai dan tak mengenal kata kekerasan.
Keakraban pun seketika terjalin ketika sholat subuh telah usai. Para bapak yang berkumpul dan duduk-duduk santai di pinggir mushola, gelak tawa anak-anak yang berlarian berangkat sekolah, dan juga senyum merekah oleh ibu-ibu yang berkumpul pada penjaja sayur keliling, ditambah pula keindahan matahari yang mulai mengintip dibalik gagahnya pegunungan pulau jawa. Membuatku tersenyum bahagia merasakan surga dunia.
Bahkan karena terlalu asyiknya aku menikmati keindahan dunia, tak terasa matahari sudah semakin meninggi. Bapak-bapak sudah mulai pulang ke rumah masing-masing satu per satu. Jalanan yang tadinya ramai oleh suara gelak tawa dan bel sepeda kayuh anak sekolah, kini sudah mulai lengang. Senyum-senyum merekah dari ibu-ibu pun sudah lenyap, hanya tinggal penjaja sayur keliling dan gerobak yang mulai kosonglah yang kini terlihat olehku. Mungkin memang cukup untuk hari ini, pikirku. Dengan langkah tenang aku mulai melangkah pulang.
“Sreekk, Sreekk, Sreekkk,” suara butiran debu yang berulangkali beradu dengan sapu lidi yang digunakan oleh nenekku untuk membersihkan halaman depan rumah.
“Mbah, saya bantu nyapu ya?” Aku menawarkan bantuan.
“Halah, ndak perlu. Beli minyak goreng wae kono.”
“Ya Mbah” jawabku dengan semangat.
“Mbah, saya bantu nyapu ya?” Aku menawarkan bantuan.
“Halah, ndak perlu. Beli minyak goreng wae kono.”
“Ya Mbah” jawabku dengan semangat.
Dengan secepat kilat ku berlari menuju kamar dan mengganti baju koko yang telah melekat dari tadi. Uang pun sudah di tangan, aku berangkat menggunakan sepeda kumbang kesayangan Kakekku. Aku lebih memilih sepeda ini karena aku ingin lebih menikmati udara segar di pedesaan. Dan tak ingin merusaknya dengan gak buang kendaraan bermotor.
“Aku berangkat!! Assalamualaikum” teriakku ketika melewati gerbang rumah dengan terus mengayuh sepeda. Aku memang sangat semangat jika disuruh untuk membelikan sesuatu. Karena dengan begitu, aku dapat sekalian berkeliling menikmati asrinya pedesaan. Pegunungan yang indah menghampar di depanku yang juga merupakan jalan satu-satunya yang akan kulewati nanti untuk menuju kota. Liukan bukit dan pegunungan yang menghampar luas, jalan pegunungan yang berkelok-kelok dan juga sinar matahari pagi yang kekuningan membuatku semakin takjub dengan alam ini.
“Aku berangkat!! Assalamualaikum” teriakku ketika melewati gerbang rumah dengan terus mengayuh sepeda. Aku memang sangat semangat jika disuruh untuk membelikan sesuatu. Karena dengan begitu, aku dapat sekalian berkeliling menikmati asrinya pedesaan. Pegunungan yang indah menghampar di depanku yang juga merupakan jalan satu-satunya yang akan kulewati nanti untuk menuju kota. Liukan bukit dan pegunungan yang menghampar luas, jalan pegunungan yang berkelok-kelok dan juga sinar matahari pagi yang kekuningan membuatku semakin takjub dengan alam ini.
Setelah 15 menit perjalanan, akhirnya sebuah gapura besar dan ucapan selamat datang menyambutku, yang menandakan aku sudah sampai di perbatasan antara kota dan kabupaten. Karena perjalanan menurun, tenaga pun tak begitu terkuras banyak. Setelah sampai di pasar, kuparkir sang kumbang tercinta di pojok tempat parkir. Aku mulai memasuki kawasan pasar yang ramai dan kurang bersahabat. Di tengah ramainya pasar, tubuhku sempat bertabrakan dengan anak lain seusiaku. Hingga kami berdua hampir jatuh.
“Aduh!!” suara gadis itu ketika tubuh kami bertabrakan.
“Kamu nggak papa kan?” tanyaku khawatir.
“Oh, aku nggak papa.” Jawabnya sambil tersenyum. Namun bukan senyuman biasa yang terlukis di mulutnya. Namun lebih kepada sebuah senyum yang penuh makna, yang menyimpan beribu makna. Dan aku pun tak tahu apa artinya. Karena baru kali ini aku melihat senyum penuh makna oleh seorang perempuan. Tatapannya padaku juga tak kalah serius. Parasnya yang cantik membuatku seakan terhipnotis oleh wajahnya yang rupawan.
“Mas, Mas, Heelllooo… Mas? Kok bengong?” Katanya membuyarkan lamunanku.
“Oh, iya?” jawabku sambil mengusap-ngusap mataku beberapa saat lalu tak berkedip sama sekali.
“Maaf mas, saya tadi gak sengaja.”
“Oh, iya-iya nggak papa kok.”
“Owh, kalau begitu saya pergi dulu ya” ia pergi dengan meninggalkan senyum manisnya.
“Iya,” jawabku sambil terus memandanginya.
“Aduh!!” suara gadis itu ketika tubuh kami bertabrakan.
“Kamu nggak papa kan?” tanyaku khawatir.
“Oh, aku nggak papa.” Jawabnya sambil tersenyum. Namun bukan senyuman biasa yang terlukis di mulutnya. Namun lebih kepada sebuah senyum yang penuh makna, yang menyimpan beribu makna. Dan aku pun tak tahu apa artinya. Karena baru kali ini aku melihat senyum penuh makna oleh seorang perempuan. Tatapannya padaku juga tak kalah serius. Parasnya yang cantik membuatku seakan terhipnotis oleh wajahnya yang rupawan.
“Mas, Mas, Heelllooo… Mas? Kok bengong?” Katanya membuyarkan lamunanku.
“Oh, iya?” jawabku sambil mengusap-ngusap mataku beberapa saat lalu tak berkedip sama sekali.
“Maaf mas, saya tadi gak sengaja.”
“Oh, iya-iya nggak papa kok.”
“Owh, kalau begitu saya pergi dulu ya” ia pergi dengan meninggalkan senyum manisnya.
“Iya,” jawabku sambil terus memandanginya.
Kulihat dari kejauhan, ia berjalan dengan gemulai dan sesekali menoleh ke belakang dan tersenyum manis padaku. Aku pun sesekali membalas senyumnya. Terbuyar dari lamunanku, akupun ingat tujuan awalku pergi ke pasar ini. Namun, mataku dibuat terbelalak selebar-lebarnya ketika sadar bahwa dompet dan handphone yang sedari tadi duduk manis di saku celana kini hilang begitu saja. Seakan tak percaya, tangan ini tak henti-hentinya keluar masuk saku untuk mencari keberadaan dompet dan Hpku. Berbagai pertanyaan pun seketika muncul di otakku.
“Kapan?”
“Dimana jatuhnya?”
“Siapa yang mengambil? Dan bagaimana bisa?” tanyaku berulang-ulang dalam hati.
Seketika, rasanya jantung ini kembali dibuat tak berdetak selama beberapa detik ketika aku teringat salah satu adegan sinetron. (Hehehehe, jadi ketahuan deh kalau sering nonton sinetron). Adegan itu adalah adegan ketika seorang laki-laki bertabrakan dengan pencopet cantik dan sang laki-laki tersebut baru menyadari ketika dirinya sudah sampai di rumah. Dan mungkin itu yang terjadi padaku saat ini.
“Kapan?”
“Dimana jatuhnya?”
“Siapa yang mengambil? Dan bagaimana bisa?” tanyaku berulang-ulang dalam hati.
Seketika, rasanya jantung ini kembali dibuat tak berdetak selama beberapa detik ketika aku teringat salah satu adegan sinetron. (Hehehehe, jadi ketahuan deh kalau sering nonton sinetron). Adegan itu adalah adegan ketika seorang laki-laki bertabrakan dengan pencopet cantik dan sang laki-laki tersebut baru menyadari ketika dirinya sudah sampai di rumah. Dan mungkin itu yang terjadi padaku saat ini.
Sesegera mungkin kuputar leher ini ke arah gadis tadi. Mataku sangat sibuk mencari-cari. Bola mata tak henti-hentinya berputar dari kanan ke kiri, dari atas ke bawah untuk mencari ke segala sudut.
“Nah!” ketemu juga akhirnya” kataku lirih.
“Kena kau sekarang” lanjutku dalam hati sambil terus berlari kecil di tengah kerumunan.
Aku sengaja tidak berteriak, karena ku tahu teriakanku hanya akan membuatnya berlari semakin jauh dariku. Aku tetap menjaga jarak darinya, namun lama kelamaan ia mulai curiga karena aku terus mengikutinya. Namun, disitu kutahu bahwa dompetku ada padanya. Tepat berada di saku belakangnya. Aku pun berusaha sedikit demi sedikit mendekatinya. Jantung yang berdetak kencang, menandakan bahwa rasa takutku semakin besar. Namun, aku merasa jika rasa penasaranku lebih besar dari apapun. Kuberanikan diri untuk menggait tangannya dan mengajaknya sedikit bercakap-cakap. Namun sebelum ku meraih tangannya, Ia langsung membalikkan badannya dan menghentikan langkahnya. Dia menatapku dengan penuh curiga.
“Ngapain to situ? Kok mulai tadi ngikutin saya terus?” tanyanya penuh curiga.
Seketika aku terperanjat kaget, langkah yang tadinya terus maju dengan gagahnya kini telah mundur beberapa langkah tanpa diperintah. Tangan yang tadinya sudah mulai mengarah ke depan untuk mengait tangannya, kini telah kembali pada posisi awalnya. Serta wajahku yang sedari tadi memunculkan raut rasa ingin tahu, kini justru terperanga antara takut dan bingung. Di tengah kegugupan yang melanda, aku pun menjawab sekenanya.
“Ehmm, sory. Aku ngikutin kamu ka.. karena..” kataku terbata-bata.
“Karena opo?” tanyanya dengan lembut mencoba menutupi rasa takutnya.
Dari sorot matanya, aku dapat melihat bahwa ia sedang ketakutan. Mungkin ia takut kalau aku tahu bahwa dia yang mencuri dompetku.
“Karena.. Karena.. aku pengen jadi temenmu.” Jawabku.
Jawaban itu bukan tanpa alasan, tapi aku ingin mendekatinya dan mengetahui latar belakangnya. Aku sangat penasaran, lantaran kenapa cewek seperti dia bisa menjadi seorang pencopet. Wajahnya yang menunjukkan bahwa dia adalah orang baik sangat bertolak belakang dengan pekerjaan ini. Serta penampilannya yang seperti anak baik-baik, membuatku semakin penasaran dengan pencopet yang satu ini.
“Beneran? Masnya mau jadi temenku?” tanyanya tak percaya.
“Mengapa tidak? Kamu cantik, dan kelihatannya juga baik” jawabku sambil sedikit menebar senyum. Mencoba untuk lebih akrab lagi dengannya.
“Hmmm, ya udah. Tapi jangan menyesal ya?” candanya.
Aku hanya bisa tersenyum sambil mengulurkan tanganku.
“Namaku Sugeng, namamu?”
“Namaku Sinta” jawabnya sambil menjabat tanganku. Kini ketegangannya terlihat mulai berkurang. Mungkin kini ia mengira bahwa aku belum tahu kalau dompetku telah raib.
“Sinta? Itu nama tokoh pewayangan idola saya lo. Sinta adalah sosok perempuan cantik yang menjadi perebutan pada zaman Ramayana” jelasku singkat.
“Ah masak? Jadi malu aku” jawabnya sambil tersipu malu. Kami pun tertawa lepas bersama, bagaikan tak lagi peduli dengan aktifitas kesibukan pasar yang penuh sesak. Kini, rasanya hilang sudah kesan pasar yang kotor, bau dan menjijikkan. Kini, tempat ini bagaikan taman bermain pribadi. Hanya aku dan dia.
“Makan siang dulu yuk, tenang.. Aku yang bayarin deh” ajakku ketika melihat mentari mulai meninggi dan saatnya makan siang telah tiba. Dia tertegun mendengar perkataanku. Seakan tak percaya, wajahnya seketika berubah ketakutan. Rasa takut yang kembali muncul, karena perkataanku yang akan mentraktir dia. Mungkin ia takut ketika aku mencari dompet dan sadar kalau dompetku hilang.
“Tenang, emang gak banyak kok uangku. Tapi cukuplah untuk makan kita berdua” kataku lagi sambil tanganku pergi ke belakang tubuhku dengan perlahan menuju saku belakang celana. Namun belum sampai tanganku ke saku tempat dompet biasa berada, namun tangannya yang lembut sudah menggapai tanganku.
“Jangan!! Hmmm, bagaimana kalau aku saja yang traktir? Bolehkan?” katanya.
Aku hanya membalas senyum.
“Hebat juga pencopet yang satu ini” gumamku dalam hati.
Warteg pinggir jalan yang tak jauh dari pasar pun menjadi pilihan kami.
“Aku yang pesenin ya?” kataku menawarkan.
“Ah, gak usah. Aku aja.” Jawabnya.
“Kamukan udah bayarin, jadi biar aku yang pesen sekarang. Oke?”
“Oke dah” jawabnya dengan tersenyum. Namun tetap saja senyumannya yang manis tidak bisa menutupi raut wajahnya yang menunjukkan raut wajah khawatir.
“Kamu mau makan apa Sin?” tanyaku.
“Mmmm.. Aku makan nasi goreng aja deh”
“Oke, siap kapten” jawabku sambil menyodorkan senyum yang juga dibalas senyuman olehnya.
“Nah!” ketemu juga akhirnya” kataku lirih.
“Kena kau sekarang” lanjutku dalam hati sambil terus berlari kecil di tengah kerumunan.
Aku sengaja tidak berteriak, karena ku tahu teriakanku hanya akan membuatnya berlari semakin jauh dariku. Aku tetap menjaga jarak darinya, namun lama kelamaan ia mulai curiga karena aku terus mengikutinya. Namun, disitu kutahu bahwa dompetku ada padanya. Tepat berada di saku belakangnya. Aku pun berusaha sedikit demi sedikit mendekatinya. Jantung yang berdetak kencang, menandakan bahwa rasa takutku semakin besar. Namun, aku merasa jika rasa penasaranku lebih besar dari apapun. Kuberanikan diri untuk menggait tangannya dan mengajaknya sedikit bercakap-cakap. Namun sebelum ku meraih tangannya, Ia langsung membalikkan badannya dan menghentikan langkahnya. Dia menatapku dengan penuh curiga.
“Ngapain to situ? Kok mulai tadi ngikutin saya terus?” tanyanya penuh curiga.
Seketika aku terperanjat kaget, langkah yang tadinya terus maju dengan gagahnya kini telah mundur beberapa langkah tanpa diperintah. Tangan yang tadinya sudah mulai mengarah ke depan untuk mengait tangannya, kini telah kembali pada posisi awalnya. Serta wajahku yang sedari tadi memunculkan raut rasa ingin tahu, kini justru terperanga antara takut dan bingung. Di tengah kegugupan yang melanda, aku pun menjawab sekenanya.
“Ehmm, sory. Aku ngikutin kamu ka.. karena..” kataku terbata-bata.
“Karena opo?” tanyanya dengan lembut mencoba menutupi rasa takutnya.
Dari sorot matanya, aku dapat melihat bahwa ia sedang ketakutan. Mungkin ia takut kalau aku tahu bahwa dia yang mencuri dompetku.
“Karena.. Karena.. aku pengen jadi temenmu.” Jawabku.
Jawaban itu bukan tanpa alasan, tapi aku ingin mendekatinya dan mengetahui latar belakangnya. Aku sangat penasaran, lantaran kenapa cewek seperti dia bisa menjadi seorang pencopet. Wajahnya yang menunjukkan bahwa dia adalah orang baik sangat bertolak belakang dengan pekerjaan ini. Serta penampilannya yang seperti anak baik-baik, membuatku semakin penasaran dengan pencopet yang satu ini.
“Beneran? Masnya mau jadi temenku?” tanyanya tak percaya.
“Mengapa tidak? Kamu cantik, dan kelihatannya juga baik” jawabku sambil sedikit menebar senyum. Mencoba untuk lebih akrab lagi dengannya.
“Hmmm, ya udah. Tapi jangan menyesal ya?” candanya.
Aku hanya bisa tersenyum sambil mengulurkan tanganku.
“Namaku Sugeng, namamu?”
“Namaku Sinta” jawabnya sambil menjabat tanganku. Kini ketegangannya terlihat mulai berkurang. Mungkin kini ia mengira bahwa aku belum tahu kalau dompetku telah raib.
“Sinta? Itu nama tokoh pewayangan idola saya lo. Sinta adalah sosok perempuan cantik yang menjadi perebutan pada zaman Ramayana” jelasku singkat.
“Ah masak? Jadi malu aku” jawabnya sambil tersipu malu. Kami pun tertawa lepas bersama, bagaikan tak lagi peduli dengan aktifitas kesibukan pasar yang penuh sesak. Kini, rasanya hilang sudah kesan pasar yang kotor, bau dan menjijikkan. Kini, tempat ini bagaikan taman bermain pribadi. Hanya aku dan dia.
“Makan siang dulu yuk, tenang.. Aku yang bayarin deh” ajakku ketika melihat mentari mulai meninggi dan saatnya makan siang telah tiba. Dia tertegun mendengar perkataanku. Seakan tak percaya, wajahnya seketika berubah ketakutan. Rasa takut yang kembali muncul, karena perkataanku yang akan mentraktir dia. Mungkin ia takut ketika aku mencari dompet dan sadar kalau dompetku hilang.
“Tenang, emang gak banyak kok uangku. Tapi cukuplah untuk makan kita berdua” kataku lagi sambil tanganku pergi ke belakang tubuhku dengan perlahan menuju saku belakang celana. Namun belum sampai tanganku ke saku tempat dompet biasa berada, namun tangannya yang lembut sudah menggapai tanganku.
“Jangan!! Hmmm, bagaimana kalau aku saja yang traktir? Bolehkan?” katanya.
Aku hanya membalas senyum.
“Hebat juga pencopet yang satu ini” gumamku dalam hati.
Warteg pinggir jalan yang tak jauh dari pasar pun menjadi pilihan kami.
“Aku yang pesenin ya?” kataku menawarkan.
“Ah, gak usah. Aku aja.” Jawabnya.
“Kamukan udah bayarin, jadi biar aku yang pesen sekarang. Oke?”
“Oke dah” jawabnya dengan tersenyum. Namun tetap saja senyumannya yang manis tidak bisa menutupi raut wajahnya yang menunjukkan raut wajah khawatir.
“Kamu mau makan apa Sin?” tanyaku.
“Mmmm.. Aku makan nasi goreng aja deh”
“Oke, siap kapten” jawabku sambil menyodorkan senyum yang juga dibalas senyuman olehnya.
Lalu aku pergi ke belakang tempat dapur berada. Karena warteg tersebut adalah langgananku. Jadi pemiliknya pun sudah akrab denganku.
“Bulek, nasi goreng dua yang spesial ya?” kataku mengagetkan Bulek Susi. (Bulek adalah panggilan bibi pada bahasa Indonesia)
“Loh, Sugeng? Iya le. Pakek telur apa ndak?” tanyanya sedikit kaget.
“Iya bulek, pakek telor ya”
“Kok tumben pesen dua? Sama siapa? Biasanya sendiri?”
“Iya bulek, sama temenku tuh” sambil menunjuk tempat Sinta duduk.
“Ehemm… Keponakan bulek udah gede nih” kata bulek sambil senyum-senyum sendiri.
“Ah, bulek bisa aja. Oh, iya minumnya jus apel 2 ya”
“Siap bos. Udah, temenin sono. Kasian tuh sendirian” goda bulek.
“Ah, bulek. Aku ke depan dulu ya.” Kataku sambil malu-malu.
Aku berjalan kembali ke arah Sinta. Kulihat wajahnya masih cemas. Meskipun tidak secemas tadi.
“Maaf sin, lama ya?”
“Ah, nggak geng. Nggak papa. Kamu kelihatannya akrab banget sama Ibu itu.”
“Ehh, gak juga sih. Cuman dari dulu keluargaku emang suka makan disini. Dan aku udah nganggep dia sebagai bulekku sendiri.”
“Owh gitu, hebat juga ya kamu. Bisa akrab dengan banyak orang. Termasuk aku, orang yang baru kamu kenal. Udah bisa akrab kayak gini.”
“Ah, bisa aja. Bisa kenal kamu itu anugrah tahu.” Godaku.
“Wah, parah.. udah mulai berani nggombal nih” katanya sambil tersipu malu. Kami berdua pun larut dalam canda tawa. Kami juga asyik ngobrol mulai dari hobby sampai latar belakang keluarga. Kamu berdua juga saling berbagi cerita. Dan akhirnya kutahu, bahwa dia hanyalah seorang putri dari keluarga kecil yang ingin membantu perekonomian keluarganya.
“Ini dia, makanannya datang!!” seru bulek mengagetkan kami berdua.
“Wah!! Kelihatannya enak nih bulek” kataku sambil membantu menurunkan minuman.
“Iya enak dong!! Masakan siapa dulu? Apalagi kalau, makannya berduaan” goda bulek.
“Ah, bulek. Kita kan cuman temen” kataku mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Iya kok. Kami cuman temen kok bulek.” Sinta menambahkan.
“Tuh kan, baru temen aja udah kompak gitu. Apalagi kalau jadi pasangan. Ya udah, bulek mau ke belakang. Takut ganggu yang mau berduaan.” Kata bulek pamit.
“Maaf itu, bulek emang dari dulu kayak gitu”
“Iya geng, gak papa kok. Justru seru kali, punya kenalan kayak kalian. Gokil”
“Ya udah, ayo makan”
“Bulek, nasi goreng dua yang spesial ya?” kataku mengagetkan Bulek Susi. (Bulek adalah panggilan bibi pada bahasa Indonesia)
“Loh, Sugeng? Iya le. Pakek telur apa ndak?” tanyanya sedikit kaget.
“Iya bulek, pakek telor ya”
“Kok tumben pesen dua? Sama siapa? Biasanya sendiri?”
“Iya bulek, sama temenku tuh” sambil menunjuk tempat Sinta duduk.
“Ehemm… Keponakan bulek udah gede nih” kata bulek sambil senyum-senyum sendiri.
“Ah, bulek bisa aja. Oh, iya minumnya jus apel 2 ya”
“Siap bos. Udah, temenin sono. Kasian tuh sendirian” goda bulek.
“Ah, bulek. Aku ke depan dulu ya.” Kataku sambil malu-malu.
Aku berjalan kembali ke arah Sinta. Kulihat wajahnya masih cemas. Meskipun tidak secemas tadi.
“Maaf sin, lama ya?”
“Ah, nggak geng. Nggak papa. Kamu kelihatannya akrab banget sama Ibu itu.”
“Ehh, gak juga sih. Cuman dari dulu keluargaku emang suka makan disini. Dan aku udah nganggep dia sebagai bulekku sendiri.”
“Owh gitu, hebat juga ya kamu. Bisa akrab dengan banyak orang. Termasuk aku, orang yang baru kamu kenal. Udah bisa akrab kayak gini.”
“Ah, bisa aja. Bisa kenal kamu itu anugrah tahu.” Godaku.
“Wah, parah.. udah mulai berani nggombal nih” katanya sambil tersipu malu. Kami berdua pun larut dalam canda tawa. Kami juga asyik ngobrol mulai dari hobby sampai latar belakang keluarga. Kamu berdua juga saling berbagi cerita. Dan akhirnya kutahu, bahwa dia hanyalah seorang putri dari keluarga kecil yang ingin membantu perekonomian keluarganya.
“Ini dia, makanannya datang!!” seru bulek mengagetkan kami berdua.
“Wah!! Kelihatannya enak nih bulek” kataku sambil membantu menurunkan minuman.
“Iya enak dong!! Masakan siapa dulu? Apalagi kalau, makannya berduaan” goda bulek.
“Ah, bulek. Kita kan cuman temen” kataku mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Iya kok. Kami cuman temen kok bulek.” Sinta menambahkan.
“Tuh kan, baru temen aja udah kompak gitu. Apalagi kalau jadi pasangan. Ya udah, bulek mau ke belakang. Takut ganggu yang mau berduaan.” Kata bulek pamit.
“Maaf itu, bulek emang dari dulu kayak gitu”
“Iya geng, gak papa kok. Justru seru kali, punya kenalan kayak kalian. Gokil”
“Ya udah, ayo makan”
Aku dan Sinta pun menikmati makanan buatan bulek sambil melanjutkan pembicaraan dan sesekali diiringi gelak tawa. Nasi goreng spesial dengan porsi jumbo pun lenyap seketika, gelas yang tadinya terisi penuh pun kini tinggal menampung seperempatnya.
“Wah, gimana sin? Kenyang? Kataku dengan nada meledek.
“Wehwehweh.. ngledek lu geng? Cuman perut karet kayak kamu kalau porsi segitu gak kenyang” jawabnya sedikit ketus.
“Hahahaha, enak aja.. Ya udah duduk-duduk dulu aja deh. Gak baik kalau perut penuh dipake jalan”
“Iya deh, aku nurut aja sama kamu” balasnya sambil tersenyum.
Di tengah percakapan, aku beranikan diri untuk memegang tangannya.
“Sin, aku boleh ngomong sesuatu gak?”
“Emm.. Emm.. Emang mau ngomong apa?” jawabnya sambil menunduk, kulihat wajah imutnya yang sedang tersipu malu.
“Terima kasih Sin, kamu udah mau jadi temenku. Walaupun kita barusan kenal, kamu udah nraktir aku. Ya, walaupun mungkin sebagian duitku.”
Sinta yang tadinya hanya menunduk malu, kini memandangku tak percaya. Ia tertegun oleh perkataanku tadi. Ia tak menyangka jika aku sudah mengetahui semuanya dari awal.
“Aku tahu kok, kamu yang membawa uangku saat ini” kataku menambahkan.
“Boleh kuminta uangku kembali?” tanyaku dengan tak menghilangkan senyuman pada bibir ini. Aku berusaha membuatnya tetap nyaman dan tidak merasa tertekan. Namun ia tetap terdiam seribu bahasa.
“Sante aja Sin. Aku gak ada niatan untuk menghukum kamu kok. Jika memang aku ada niatan untuk menghukummu, aku sudah meneriakimu copet semenjak kita bertabrakan tadi” ujarku dengan nada santai.
Sinta pun tertunduk kembali, kali ini air mata mengalir mengarungi pipinya. Tangannya mencoba melepaskan genggamanku. Aku hanya membiarkannya.
“Kenapa? Kenapa kamu membiarkan tanganku lepas dari genggamanmu? Kenapa geng? Apa kamu rela? Apa kamu rela jika aku lari dengan membawa uang dan handphonemu? Jawab geng? Kenapa?” tanyanya dengan tersedu-sedu dan tangannya yang kini menggenggam dompet dan handphoneku.
Suaranya yang lirih dan tangisnya yang semakin menjadi-jadi menandakan bahwa ia telah pasrah. Suasana sempat hening, keadaan warteg yang sedang lengang menambah hening suasana. Hanya suara tangis Sinta yang samar-samar ditangkap oleh telingaku. Segera kulepas jaketku dan memakaikannya pada Sinta. Aku tak mau jika kesedihannya menarik perhatian orang yang lalu lalang dibalik jendela dekat meja kami. Hingga akhirnya aku membuka suara.
“Aku rela kok Sin. Aku rela jika kamu lari menjauhiku. Aku rela jika kehilangan uang dan handphone itu. Bahkan jika memang itu yang kau inginkan, silahkan. Aku gak akan mengejar kamu.” Kataku dengan nada sedih.
“Tapi apa kamu rela? Apa kamu rela merusak pertemanan kita yang baru saja terjalin? Semua terserah padamu” lanjutku.
Tangis Sinta kini sudah tak terbendung lagi, air mata tak ada hentinya membanjiri setiap lekuk wajah manisnya. Handphone dan dompet yang sedari tadi masih dalam genggamannya, kini ia turunkan secara perlahan dan meletakkan di atas meja. Ia yang sedari tadi duduk tepat di hadapanku, kini beranjak menuju sampingku. Melihat itu, aku pun ikut berdiri. Kuletakkan kedua tanganku tepat di samping pipinya. Kuusap air mata yang mengalir membasahi pipi Sinta. Namun tanpa kuduga, Sinta langsung memeluk tubuhku dengan erat.
“Maaf geng, kamu sudah baik banget sama aku. Padahal aku adalah orang yang mencopetmu. Tapi jujur kukatakan, itu semua bukan keinginanku. Semuanya karena himpitan ekonomi. Aku tidak ingin keluargaku kelaparan. Namun, aku juga tidak ingin kehilangan teman sebaik kamu. Terima kasih, karena kamu sudah mau menjadi sahabatku. Kini aku sadar, bahwa yang kulakukan selama ini adalah salah. Dan, dan itu semua berkat kamu. Kamu memang sahabatku yang terbaik”
Kata-kata Sinta membuatku terkesan. Membuat mataku berkaca-kaca.
“Sudah-sudah, yang kutahu dari sosok Sinta itu cantik, lemah lembut, tapi tegar, bukannya cengeng kayak kamu” godaku coba menghiburnya.
“Iiihh, apaan sih. Kamu tuh, masak laki kok nangis” balasnya.
“Eeehh, enak aja. Mana? Aku gak nangis kok” jawabku mengelak.
“Halaahh, gak usah boong deeh!.. Itu matanya berkaca-kaca” candanya sambil mencubitku.
“Aduh, apaan sih! Malu tuh dilihatin bulek” kataku mengagetkan bulek yang sedari tadi mengintipku dari balik pintu dapur.
“Buleekk!! Makannya udah nih”
Tak lama berselang, bulek pun menghampiri kami berdua.
“Wahwahwah… pasangan baru. Manis banget, ampe pelukan begitu. Makannya udah nih? Gak mau tambah?” goda bulek.
“Ah, bulek. Daripada bulek, kerjaannya ngintipin orang aja. Ntar matanya juling lo”
“hehehee, ketahuan ya?” jadi malu”
“Jadi berapa semuanya bulek?”
“30 ribu aja geng”
“Nah ini bulek, uangnya.” Sambil menyodorkan uang selembar lima puluh ribuan yang kuambil dari dompetku di atas meja.
“Oh, iya bulek. Bulek kan kerja sendiri nih, boleh gak kalau Sinta kerja disini?”
“Boleh aja, kebetulan bulek juga lagi butuh pegawai nih. Sering kualahan kalau pas rame.”
“Beneran bulek? Wah, seneng banget.” Jawab Sinta seketika.
“Iya, kamu bisa bekerja mulai besok. Tapi sekarang bulek bisa minta tolong beliin belanjaan di pasar ya? Gak papa kan?”
“Gak papa kok bulek” jawab sinta semangat. Senyumnya mengembang lebar.
“Oh iya, kebeneran aku juga belum sempat belanja keinginan nenek” jawabku baru ingat.
“Ya udah, kalian belanja berdua sana. Kan lebih enak kalau belanjanya berduaan” goda bulek untuk yang kesekian kalinya.
“Oh, hampir lupa. Bulek kembaliannya tadi tolong dibungkusin makanan ya. Biar nanti dibawa pulang Sinta.
“Siap komandan!”
“Terima kasih ya geng. Kamu emang baik” kata Sinta tanpa melepaskan pelukannya.
“Aduuuhhh… Yang pelukannya gak mau lepas. Jadi iri..” ceplos bulek melihat kedekatan kami berdua.
“Aaaahhh… bulek, aku kan jadi malu” jawab Sinta sambil melepaskan pelukannya.
“Ya udah berangkat sana, keburu sore. Sin, uang dan daftarnya ada di dalam keranjang” lanjut bulek.
“Kita berangkat dulu ya bulek, Assalamualaikum.” Kataku seraya pergi dengan menggandeng tangan Sinta.
“Waalaikum salam” jawab bulek.
“Wah, gimana sin? Kenyang? Kataku dengan nada meledek.
“Wehwehweh.. ngledek lu geng? Cuman perut karet kayak kamu kalau porsi segitu gak kenyang” jawabnya sedikit ketus.
“Hahahaha, enak aja.. Ya udah duduk-duduk dulu aja deh. Gak baik kalau perut penuh dipake jalan”
“Iya deh, aku nurut aja sama kamu” balasnya sambil tersenyum.
Di tengah percakapan, aku beranikan diri untuk memegang tangannya.
“Sin, aku boleh ngomong sesuatu gak?”
“Emm.. Emm.. Emang mau ngomong apa?” jawabnya sambil menunduk, kulihat wajah imutnya yang sedang tersipu malu.
“Terima kasih Sin, kamu udah mau jadi temenku. Walaupun kita barusan kenal, kamu udah nraktir aku. Ya, walaupun mungkin sebagian duitku.”
Sinta yang tadinya hanya menunduk malu, kini memandangku tak percaya. Ia tertegun oleh perkataanku tadi. Ia tak menyangka jika aku sudah mengetahui semuanya dari awal.
“Aku tahu kok, kamu yang membawa uangku saat ini” kataku menambahkan.
“Boleh kuminta uangku kembali?” tanyaku dengan tak menghilangkan senyuman pada bibir ini. Aku berusaha membuatnya tetap nyaman dan tidak merasa tertekan. Namun ia tetap terdiam seribu bahasa.
“Sante aja Sin. Aku gak ada niatan untuk menghukum kamu kok. Jika memang aku ada niatan untuk menghukummu, aku sudah meneriakimu copet semenjak kita bertabrakan tadi” ujarku dengan nada santai.
Sinta pun tertunduk kembali, kali ini air mata mengalir mengarungi pipinya. Tangannya mencoba melepaskan genggamanku. Aku hanya membiarkannya.
“Kenapa? Kenapa kamu membiarkan tanganku lepas dari genggamanmu? Kenapa geng? Apa kamu rela? Apa kamu rela jika aku lari dengan membawa uang dan handphonemu? Jawab geng? Kenapa?” tanyanya dengan tersedu-sedu dan tangannya yang kini menggenggam dompet dan handphoneku.
Suaranya yang lirih dan tangisnya yang semakin menjadi-jadi menandakan bahwa ia telah pasrah. Suasana sempat hening, keadaan warteg yang sedang lengang menambah hening suasana. Hanya suara tangis Sinta yang samar-samar ditangkap oleh telingaku. Segera kulepas jaketku dan memakaikannya pada Sinta. Aku tak mau jika kesedihannya menarik perhatian orang yang lalu lalang dibalik jendela dekat meja kami. Hingga akhirnya aku membuka suara.
“Aku rela kok Sin. Aku rela jika kamu lari menjauhiku. Aku rela jika kehilangan uang dan handphone itu. Bahkan jika memang itu yang kau inginkan, silahkan. Aku gak akan mengejar kamu.” Kataku dengan nada sedih.
“Tapi apa kamu rela? Apa kamu rela merusak pertemanan kita yang baru saja terjalin? Semua terserah padamu” lanjutku.
Tangis Sinta kini sudah tak terbendung lagi, air mata tak ada hentinya membanjiri setiap lekuk wajah manisnya. Handphone dan dompet yang sedari tadi masih dalam genggamannya, kini ia turunkan secara perlahan dan meletakkan di atas meja. Ia yang sedari tadi duduk tepat di hadapanku, kini beranjak menuju sampingku. Melihat itu, aku pun ikut berdiri. Kuletakkan kedua tanganku tepat di samping pipinya. Kuusap air mata yang mengalir membasahi pipi Sinta. Namun tanpa kuduga, Sinta langsung memeluk tubuhku dengan erat.
“Maaf geng, kamu sudah baik banget sama aku. Padahal aku adalah orang yang mencopetmu. Tapi jujur kukatakan, itu semua bukan keinginanku. Semuanya karena himpitan ekonomi. Aku tidak ingin keluargaku kelaparan. Namun, aku juga tidak ingin kehilangan teman sebaik kamu. Terima kasih, karena kamu sudah mau menjadi sahabatku. Kini aku sadar, bahwa yang kulakukan selama ini adalah salah. Dan, dan itu semua berkat kamu. Kamu memang sahabatku yang terbaik”
Kata-kata Sinta membuatku terkesan. Membuat mataku berkaca-kaca.
“Sudah-sudah, yang kutahu dari sosok Sinta itu cantik, lemah lembut, tapi tegar, bukannya cengeng kayak kamu” godaku coba menghiburnya.
“Iiihh, apaan sih. Kamu tuh, masak laki kok nangis” balasnya.
“Eeehh, enak aja. Mana? Aku gak nangis kok” jawabku mengelak.
“Halaahh, gak usah boong deeh!.. Itu matanya berkaca-kaca” candanya sambil mencubitku.
“Aduh, apaan sih! Malu tuh dilihatin bulek” kataku mengagetkan bulek yang sedari tadi mengintipku dari balik pintu dapur.
“Buleekk!! Makannya udah nih”
Tak lama berselang, bulek pun menghampiri kami berdua.
“Wahwahwah… pasangan baru. Manis banget, ampe pelukan begitu. Makannya udah nih? Gak mau tambah?” goda bulek.
“Ah, bulek. Daripada bulek, kerjaannya ngintipin orang aja. Ntar matanya juling lo”
“hehehee, ketahuan ya?” jadi malu”
“Jadi berapa semuanya bulek?”
“30 ribu aja geng”
“Nah ini bulek, uangnya.” Sambil menyodorkan uang selembar lima puluh ribuan yang kuambil dari dompetku di atas meja.
“Oh, iya bulek. Bulek kan kerja sendiri nih, boleh gak kalau Sinta kerja disini?”
“Boleh aja, kebetulan bulek juga lagi butuh pegawai nih. Sering kualahan kalau pas rame.”
“Beneran bulek? Wah, seneng banget.” Jawab Sinta seketika.
“Iya, kamu bisa bekerja mulai besok. Tapi sekarang bulek bisa minta tolong beliin belanjaan di pasar ya? Gak papa kan?”
“Gak papa kok bulek” jawab sinta semangat. Senyumnya mengembang lebar.
“Oh iya, kebeneran aku juga belum sempat belanja keinginan nenek” jawabku baru ingat.
“Ya udah, kalian belanja berdua sana. Kan lebih enak kalau belanjanya berduaan” goda bulek untuk yang kesekian kalinya.
“Oh, hampir lupa. Bulek kembaliannya tadi tolong dibungkusin makanan ya. Biar nanti dibawa pulang Sinta.
“Siap komandan!”
“Terima kasih ya geng. Kamu emang baik” kata Sinta tanpa melepaskan pelukannya.
“Aduuuhhh… Yang pelukannya gak mau lepas. Jadi iri..” ceplos bulek melihat kedekatan kami berdua.
“Aaaahhh… bulek, aku kan jadi malu” jawab Sinta sambil melepaskan pelukannya.
“Ya udah berangkat sana, keburu sore. Sin, uang dan daftarnya ada di dalam keranjang” lanjut bulek.
“Kita berangkat dulu ya bulek, Assalamualaikum.” Kataku seraya pergi dengan menggandeng tangan Sinta.
“Waalaikum salam” jawab bulek.
Kami berdua segera berbelanja di pasar, hingga akhirnya aku dan Sinta harus berpisah. Hari sudah mulai sore. Kami harus pulang ke rumah masing-masing. Sesegera mungkin kukayuh sepeda kumbang yang penuh karat ini. Perjalanan pulang yang naik dan berkelok-kelok pun semakin menghambatku. Roda sepeda yang terus berputar berlomba dengan seiring tenggelamnya matahari ke dalam bumi pertiwi. Dengan kaki yang tak henti-henti mengayuh, serta keringat yang mengucur deras. Dan nafas berat akhirnya aku sampai di tempat kelahiranku. Di teras rumah, nenekku sudah terduduk dengan rapi menghisap sebatang rokok.
“Kemana saja kamu?” tanya Nenekku tegas.
Aku tertunduk, takut jika dimarahi oleh nenekku.
“Aku dengar kabar dari Bulek Susi, bahwa kamu seharian bermain-main di pasar sama temanmu. Iya kan?” tanya nenek dengan sedikit menggertak.
“Iya Nek” jawabku sambil terus menunduk.
“Dan Nenek dengar kalau teman kamu cewek. Apa betul?”
“I… Iya nek” jawabku sambil gemetar dan tetap menunduk.
“Hey, mana sopan santunmu? Lihat wajah nenek!” gertakannya membuatku semakin takut.
Perlahan-lahan kuberanikan diri untuk menatap wajahnya. Dan seketika.
“Dia cantik tidak? Kapan-kapan kenalkan ke nenek ya?” kata nenek sambil tersenyum lebar. Kupeluk tubuh nenek dengan erat.
“Cucu nenek sudah besar rupanya” lanjutnya.
“Iya nek, aku janji kapan-kapan bakal aku kenalin ke nenek.” Jawabku malu.
“Sudah cepat masuk sana, mandi. Badan udah bau kayak gitu. Ntar gak ada cewek yang mau sama kamu lo”
“Iya iya, aku mandi kok nek”
“Kemana saja kamu?” tanya Nenekku tegas.
Aku tertunduk, takut jika dimarahi oleh nenekku.
“Aku dengar kabar dari Bulek Susi, bahwa kamu seharian bermain-main di pasar sama temanmu. Iya kan?” tanya nenek dengan sedikit menggertak.
“Iya Nek” jawabku sambil terus menunduk.
“Dan Nenek dengar kalau teman kamu cewek. Apa betul?”
“I… Iya nek” jawabku sambil gemetar dan tetap menunduk.
“Hey, mana sopan santunmu? Lihat wajah nenek!” gertakannya membuatku semakin takut.
Perlahan-lahan kuberanikan diri untuk menatap wajahnya. Dan seketika.
“Dia cantik tidak? Kapan-kapan kenalkan ke nenek ya?” kata nenek sambil tersenyum lebar. Kupeluk tubuh nenek dengan erat.
“Cucu nenek sudah besar rupanya” lanjutnya.
“Iya nek, aku janji kapan-kapan bakal aku kenalin ke nenek.” Jawabku malu.
“Sudah cepat masuk sana, mandi. Badan udah bau kayak gitu. Ntar gak ada cewek yang mau sama kamu lo”
“Iya iya, aku mandi kok nek”
Tanpa komando lagi, aku segera masuk dan memarkir sepeda kayuh tadi di tempat semula. Segera ku basuh dan kubersihkan tubuhku. Setelah aku selesai mandi, aku terdiam merenung di jendela kamar. Aku bergumam sendiri, betapa indahnya hari ini. Aku mendapat teman baru, dan membantunya keluar dari permasalahannya dan mencarikan perkerjaan yang halal. Secara tidak langsung, bulek juga merasa terbantu olehku karena telah mencarikannya pegawai. Aku juga senang, nenek tidak marah padaku. Namun yang terpenting, hari ini aku sudah merubah Sinta menjadi lebih baik. Walaupun aku tidak bisa membantu banyak, tapi aku sudah senang. Karena mungkin saja saat ini keluarga Sinta sedang makan dengan lahapnya dari lauk yang kubelikan tadi siang.
Lalu, hari itu kujadikan hari bersejarah antara aku dan Sinta. Hari yang mengikat kita berdua untuk tetap menjadi sahabat. Dan semenjak hari itu, setiap diriku pergi ke pasar aku tidak lupa menyempatkan diri untuk mampir di warteg milik Bulek Susi. Baik untuk membeli makanan atau Cuma sekedar membantu bulek bekerja dan menemani Sinta. Aku sadar, bahwa semuanya akan baik jika kita menyikapinya dengan baik pula.
“Terima kasih Tuhan atas semua yang telah kau limpahkan.”
“Terima kasih Tuhan atas semua yang telah kau limpahkan.”
0 komentar:
Posting Komentar