Bel istirahat berbunyi. Setiap penghuni kelas pergi keluar untuk melakukan kegiatan mereka; membeli makanan, memakan bekal atau hanya sekedar berjalan-jalan keliling sekolah mencari angin segar.
“ke WC yuk!” ajak Reni memecah lamunan Vana.
“kamu sama Ika aja deh ke bawahnya. Aku mau makan di kelas.” Jawab Vana dengan senyum tulus mengembang di wajahnya.
Tanpa perlu menjawab lagi, Reni pun pergi bersama Ika. Kini hanya tinggal Vana sendiri di ruangan itu. Ditemani dengan kursi-kursi, meja-meja, dan buku-buku yang hanya bisa terdiam. Perlahan, air mata mengalir dari matanya. Bahunya berguncang. Dibenamkannya wajahnya ke dalam lipatan dua tangannya. Entah apa yang ditangisinya.
“Vana! Kamu kenapa?” tanya Ika yang baru datang dari toilet bersama Reni.
Vana mengambil dompet dari tasnya lalu mengeluarkan sebuah foto. Tampak wajah dua orang manusia sedang tersenyum ke arah kamera dengan latar belakang Patung Liberty. Keduanya memegang es krim di tangan dengan wajah yang sangat gembira. “itu aku sama papa aku. Itu waktu aku mau masuk SD. Waktu itu papa ngajak aku ke Amerika Serikat seminggu. Tau gak? Sesudah aku sama papa aku foto di depan patung itu, es krim aku langsung jatuh kena sepatu. Dan aku langsung nangis sejadi-jadinya di situ sampai ketiduran. Lucu banget deh!” Vana pun tertawa sambil mengusap air matanya.
“enak banget ya, masih kecil udah bisa pergi ke USA!” ucap Reni dengan nada iri.
“bukan itu yang mau aku ceritain ke kalian,” wajah Vana kembali merengut. “Aku kangen papa aku. Dia meninggal tujuh tahun yang lalu. Yaitu waktu aku masih kelas tiga SD. Dia meninggal karena sakit kanker yang tak bisa diobati lagi. Dua minggu lagi peringatan tujuh tahun meninggalnya papa. Walaupun papa suka marah-marah sama aku, tapi aku tahu papa sayang sama aku. Aku pengen ke makamnya” air matanya mengalir membasahi pipi. Ia terisak.
“yang sabar ya Van,” ucap Reni sambil mengusap pundak Vana.
“ya udah nanti kamu ke makamnya aja!” ucap Ika kemudian.
“papa aku… papa aku dimakamin di Jogja, Ka. Mama sama kakak aku gak ngasih ijin aku untuk pergi ke sana.” Vana merengut.
“ya udah. Kamu doain aja. Papa kamu pasti seneng ko kamu doain, daripada kamu nangis terus gini. Jelek tau!” Ika menyemangatinya.
“ke WC yuk!” ajak Reni memecah lamunan Vana.
“kamu sama Ika aja deh ke bawahnya. Aku mau makan di kelas.” Jawab Vana dengan senyum tulus mengembang di wajahnya.
Tanpa perlu menjawab lagi, Reni pun pergi bersama Ika. Kini hanya tinggal Vana sendiri di ruangan itu. Ditemani dengan kursi-kursi, meja-meja, dan buku-buku yang hanya bisa terdiam. Perlahan, air mata mengalir dari matanya. Bahunya berguncang. Dibenamkannya wajahnya ke dalam lipatan dua tangannya. Entah apa yang ditangisinya.
“Vana! Kamu kenapa?” tanya Ika yang baru datang dari toilet bersama Reni.
Vana mengambil dompet dari tasnya lalu mengeluarkan sebuah foto. Tampak wajah dua orang manusia sedang tersenyum ke arah kamera dengan latar belakang Patung Liberty. Keduanya memegang es krim di tangan dengan wajah yang sangat gembira. “itu aku sama papa aku. Itu waktu aku mau masuk SD. Waktu itu papa ngajak aku ke Amerika Serikat seminggu. Tau gak? Sesudah aku sama papa aku foto di depan patung itu, es krim aku langsung jatuh kena sepatu. Dan aku langsung nangis sejadi-jadinya di situ sampai ketiduran. Lucu banget deh!” Vana pun tertawa sambil mengusap air matanya.
“enak banget ya, masih kecil udah bisa pergi ke USA!” ucap Reni dengan nada iri.
“bukan itu yang mau aku ceritain ke kalian,” wajah Vana kembali merengut. “Aku kangen papa aku. Dia meninggal tujuh tahun yang lalu. Yaitu waktu aku masih kelas tiga SD. Dia meninggal karena sakit kanker yang tak bisa diobati lagi. Dua minggu lagi peringatan tujuh tahun meninggalnya papa. Walaupun papa suka marah-marah sama aku, tapi aku tahu papa sayang sama aku. Aku pengen ke makamnya” air matanya mengalir membasahi pipi. Ia terisak.
“yang sabar ya Van,” ucap Reni sambil mengusap pundak Vana.
“ya udah nanti kamu ke makamnya aja!” ucap Ika kemudian.
“papa aku… papa aku dimakamin di Jogja, Ka. Mama sama kakak aku gak ngasih ijin aku untuk pergi ke sana.” Vana merengut.
“ya udah. Kamu doain aja. Papa kamu pasti seneng ko kamu doain, daripada kamu nangis terus gini. Jelek tau!” Ika menyemangatinya.
Hari ini sepulang sekolah, Vana menyempatkan diri pergi ke gereja untuk mendoakan ayahnya. Selesai berdoa, seorang pria yang membawa sapu berusia kira-kira 40 tahun menghampirinya. Mereka pun mulai mengobrol dan membicarakan banyak hal. Ternyata pria itu adalah seorang koster (pengurus gereja) di gereja tersebut. Namanya Pak Paulus. Vana pun tak sungkan menceritakan tentang ayahnya. Tak jarang air mata pun menetes dari kelopak mata indah Vana, tapi ia terus bercerita.
Setelah puas bercerita, Vana merasakan rasa lega yang luar biasa hadir dalam dirinya, yang tidak dia rasakan saat selesai bercerita dengan Reni dan Ika. Seakan semua bebannya diangkat dari dirinya saat itu juga. Pak Paulus kembali melanjutkan pekerjaannya membersihkan gereja yang besar itu sendiri. Vana langsung mengambil sapu lain, dan ikut menyapu bersama Pak Paulus.
Sudah satu minggu Vana membantu Pak Paulus di gereja. Tak ada hal lain yang membuatnya senang selain ikut membantu menyapu dan mengepel lantai. Suatu hari sesudah membantu membereskan gereja, Vana mengajak Pak Paulus mengobrol sejenak.
“Pak, saya mau minta sesuatu. Mmm… apa bapak mau jadi ‘ayah’ saya?”
Pak Paulus tertawa, “hahaha.. selama ini kamu udah saya anggap jadi anak saya kok. Tanpa kamu minta pun, saya sudah anggap kamu sebagai anak saya. Jadi ayah kamu, bukan berarti harus menikah dengan ibu kamu kan? Saya sudah anggap kamu anak saya yang paling baik. Karena anak kandung saya pun mana mau bantu-bantu saya di gereja. Justru mereka malu dengan pekerjaan saya ini. Tapi kamu datang dan bantu saya di sini, sudah membuat saya jadi semangat bekerja lagi, jadi semangat melayani Tuhan kembali, kamu sudah mengubah hidup saya menjadi berwarna. Saya yang harusnya minta kamu buat jadi anak saya.”
“Pak, saya mau minta sesuatu. Mmm… apa bapak mau jadi ‘ayah’ saya?”
Pak Paulus tertawa, “hahaha.. selama ini kamu udah saya anggap jadi anak saya kok. Tanpa kamu minta pun, saya sudah anggap kamu sebagai anak saya. Jadi ayah kamu, bukan berarti harus menikah dengan ibu kamu kan? Saya sudah anggap kamu anak saya yang paling baik. Karena anak kandung saya pun mana mau bantu-bantu saya di gereja. Justru mereka malu dengan pekerjaan saya ini. Tapi kamu datang dan bantu saya di sini, sudah membuat saya jadi semangat bekerja lagi, jadi semangat melayani Tuhan kembali, kamu sudah mengubah hidup saya menjadi berwarna. Saya yang harusnya minta kamu buat jadi anak saya.”
Vana terdiam. Dia menangis. Menangis bahagia. Rasanya benar-benar bahagia saat kita mendapatkan apa yang kita inginkan, yang kita cintai, dan itulah yang dirasakan oleh Vana yang mendamba seorang ayah. “selama ini saya selalu menolak mama saya untuk menikah dengan orang lain. Karena sampai kapan pun, ayah saya tetap hanya ada satu, tidak bisa digantikan. Tapi itu berubah saat bertemu bapak. Bapak sudah mengajarkan banyak hal pada saya. Bapak sudah memberikan kasih sayang pada saya secara tidak langsung. Dan, ya… Pak Paulus adalah ayah kedua saya. Terima kasih, Pak sudah mau menganggap saya anak bapak.”
0 komentar:
Posting Komentar